METRO – DPRD Kota
Metro menggelar rapat paripurna dalam rangka penyampaian tiga Rancangan Perda di
gedung DPRD setempat, Senin (14/08/2023). Ketiga Rancangan Perda tersebut
terdiri atas dua Rancangan Perda usul Pemerintah Daerah yaitu Rancangan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Rancangan Perda tentang Perubahan Kedua atas Perda Kota Metro Nomor 14
Tahun 2018 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Satu Rancangan Perda
lainnya merupakan inisiatif DPRD yaitu Rancangan Perda tentang Kota Literasi.
Dalam pidatonya, Walikota
Metro, Wahdi, mengungkapkan Rancangan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah merupakan tindak lanjut dan
penyesuaian dari terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). “Undang-Undang HKPD menyederhanakan regulasi pajak daerah dan
retribusi daerah yang semula diatur dalam sembilan Peraturan Daerah Kota Metro
menjadi satu Peraturan Daerahâ€, ungkap Wahdi. Lebih lanjut Wahdi menjelaskan
dalam Rancangan Perda ini juga dilakukan beberapa penyesuaian tarif retribusi
dan perluasan objek retribusi guna meningkatkan pelayanan dan dapat memperkuat
kewenangan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.
Terkat dengan Rancangan Perda tentang Perubahan Kedua atas Perda Kota Metro Nomor 14
Tahun 2018 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, menurut Wahdi diperlukan
untuk memberikan pijakan hukum yang kokoh bagi optimlisasi pemanfaatan barang
milik daerah terlebih sejak diundangkannya Peraturan Pememrintah Nomor 20 Tahun
2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2014 tentag
Penjualan Barang Milik Negara/Daerah berupa Kendaraan Dinas.
Sementara itu,
Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD, Yulianto, saat menyampaikan pengantar Rancangan
Perda inisiatif DPRD yaitu Rancangan Perda tentang Kota
Literasi mengungkapkan adanya Peraturan Daerah ini, diharapkan dapat
dilakukan percepatan dalam mewujudkan Metro sebagai Kota Literasi dengan penguatan
4 (empat) dimensi, yaitu kecakapan, alternatif,
akses, dan budaya.
“Pertama, dimensi kecakapan. Dimensi ini tersusun dari dua indikator,
yaitu bebas buta aksara latin dan rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun
lebih. Meskipun data di Kota Metro menunjukkan bahwa secara umum kecakapan
masyarakat untuk mengakses bahan bacaan telah memadai, begitu pula akses
terhadap pendidikan formal sudah cukup baik, namun upaya untuk menjaga dimensi
ini harus terus dilakukan. Kedua, pada dimensi alternatif, perlu dorongan
Pemerintah Daerah untuk memaksimalkan pemanfaatan komputer dan pemerataan
jaringan internet sampai ke seluruh wilayah kelurahan. Upaya itu perlu
diimbangi dengan kampanye penggunaan teknologi informasi yang sehat sehingga
dapat menunjang peningkatan aktivitas literasi masyarakat. Ketiga, pada dimensi
akses, perlu upaya sistematis untuk meningkatkan akses terhadap bahan-bahan
literasi, baik di masyarakat maupun di sekolah. Dan terakhir, pada dimensi budaya,
usaha pembiasaan membaca kepada siswa sekolah melalui Gerakan Literasi Sekolah
perlu diimbangi dengan pembiasaan membaca di rumah. Pemerintah daerah dapat
mengampanyekan kembali “Jam Membaca†atau “Jam Belajar Masyarakat†pada jam-jam
berkumpul dengan keluarga, urai Yulianto. (NDAH/BAR)